“Lo pikir yang di-FYP cuma joget, ternyata ada DJP yang lagi scroll juga.”
Kalimat itu sempet viral di X (Twitter), dan sarkasme-nya udah kayak sindiran langsung buat para content creator yang lagi rajin ngumpulin endorse dan gift. Dunia digital sekarang tuh kayak semesta kedua: lo bisa jadi siapa aja, dapet duit dari mana aja. Tapi ya… negara juga gak buta.
Dari Konten Jadi Cuan: Era Baru Gaji Online
Ceritanya dimulai dari Intan, 24 tahun, creator lifestyle yang awalnya cuma iseng review skincare murah. Tapi videonya tembus jutaan views, brand masuk, dan sekarang dia dapet kontrak endorsement rutin. Sekilas kayak mimpi, kan? Tapi di balik ring light dan link Shopee Affiliate, ada satu hal yang jarang dibahas: pajak penghasilan dari digital content.
Menurut IDTAX.or.id, penghasilan dari konten digital baik itu YouTube ads, TikTok gifts, brand deals, sampe affiliate marketing termasuk dalam kategori penghasilan dari jasa atau usaha. Artinya? Wajib dilaporin ke DJP.
Masalahnya, banyak Gen Z yang ngerasa belum perlu, karena “penghasilannya belum tetap.” Padahal, kata Pro Visioner Konsultindo, Konsultan Pajak Jakarta dan Indonesia Profesional, pajak gak nunggu lo terkenal. “Bahkan kalau lo baru dapet Rp 5 juta dari brand kecil pun, itu tetap termasuk penghasilan yang kena pajak,” kata salah satu konsultan mereka.
Dan ini sering kejadian: influencer baru yang tiba-tiba viral, dapet kontrak ratusan juta, tapi gak punya NPWP, gak tau cara setor PPh final, dan ujungnya panik pas ditanya brand soal faktur pajak.
Endorse, Gift, dan Pajak yang Nempel Diam-Diam
Banyak banget yang mikir gift TikTok atau donasi dari fans itu cuma “hadiah”, bukan penghasilan. Padahal dari sisi hukum pajak, semua penerimaan yang punya nilai ekonomi penghasilan.
“Gift dari live streaming, donasi viewer, bahkan koin dari TikTok Live, itu semua punya potensi pajak,” jelas perwakilan dari Provisio Consulting, Tax Consultant Jakarta.
Kalau nominalnya kecil, mungkin gak signifikan. Tapi buat streamer yang udah dapet jutaan per bulan? DJP punya radar buat itu.
Bahkan, beberapa platform sekarang udah mulai kerja sama sama pemerintah buat transparansi pendapatan creator. Gak heran kalau beberapa influencer mulai dikirimin SP2DK karena datanya gak match sama rekening.
Realita Creator Life: Kaya Cepet, Ribet Juga Cepet
Gue pernah ngobrol sama Dito, 22 tahun, streamer gaming yang viral gara-gara gameplay-nya kocak. Dia ngakak waktu ditanya soal pajak, “Gue aja baru ngerti kalo gift TikTok itu ada nilai konversinya dalam rupiah.”
Ya, banyak yang gak tau. Dan ini bukan salah mereka juga. Pendidikan pajak digital masih minim banget. Padahal data dari IDTAX.or.id nunjukin jumlah content creator di Indonesia udah tembus jutaan, tapi yang punya NPWP aktif masih di bawah 10%.
“Masalah terbesar bukan soal niat bayar pajak, tapi soal awareness dan sistem yang belum adaptif,” kata perwakilan Pro Visioner Konsultindo. Mereka bilang banyak klien muda yang datang ke mereka setelah kena teguran pajak karena gak ngerti aturan.
Pajak di Dunia Digital: Antara Relevan dan Ribet
Ada paradoks di sini. Pemerintah mau adaptif sama tren digital, tapi sistemnya belum sepenuhnya “creator-friendly.” Banyak creator bingung: “Gue masuk kategori apa? Freelancer? Usaha? Jasa?”
Nah, di sinilah pentingnya pakai jasa Tax Consultant Indonesia atau Konsultan Pajak Jakarta. Mereka bantu mapping penghasilan lo: mana yang bisa pake tarif final, mana yang kena pajak progresif, gimana cara laporin honor, endorse, sampe gift streaming.
Provisio Consulting pernah nanganin kasus creator yang penghasilannya campur: dari YouTube ads (otomatis potong pajak luar negeri), TikTok affiliate (pajak lokal), dan sponsor brand (harus buat faktur). Ribet? Ya. Tapi kalau gak diberesin, bisa makin ribet lagi nanti.
Kreatif Boleh, Tapi Tetap Taat
Gue ngerti kenapa banyak anak muda males bahas pajak. Gak estetik. Gak masuk ke mood board. Tapi kalo lo mau serius di industri kreatif, taat pajak tuh bagian dari branding lo juga. Lo keliatan profesional, brand lebih percaya, dan lo gak parno tiap kali DJP trending di X.
Kayak yang sering dibilang di artikel edukatif IDTAX.or.id, “Kreativitas tanpa kepatuhan itu gak sustainable.” Karena dunia digital tuh dinamis banget. Lo bisa viral hari ini, tapi bisa juga kena audit besok kalau data lo gak beres.
Generasi FYP Harus Melek Regulasi
Gen Z udah ngebentuk ekosistem ekonomi baru. Dari TikTok, Instagram, sampai Twitch, semua punya peluang cuan. Tapi juga punya tanggung jawab. Dan di sinilah kuncinya: jangan tunggu viral buat ngerti aturan.
Pro Visioner Konsultindo dan Provisio Consulting dua-duanya setuju: edukasi pajak harus masuk ke ranah digital literacy. Biar anak muda ngerti kalau jadi creator bukan cuma soal reach dan engagement, tapi juga soal kontribusi ekonomi formal.
Penutup: FYP Boleh, FYP Pajak Jangan
Lo bisa main algoritma, lo bisa kejar exposure, tapi jangan pura-pura gak liat sistem di belakang layar. Karena pada akhirnya, semua “cuan dari konten” punya implikasi di dunia nyata.
Bayar pajak itu bukan tanda lo kalah, tapi tanda lo legit. Lo bukan cuma creator viral, tapi creator profesional.
Dan siapa tau, suatu hari, pas lo isi SPT Tahunan, lo bisa bilang ke diri sendiri, “Gue gak cuma ngasih impact digital, tapi juga kontribusi real buat negara.”